Agar Anak Taat Pada Aturan

Kamis, 16 Oktober 2014

Saya menyebarkan tulisan ini, dengan latarbelakang:

1. Janji kepada seorang sahabat di media sosial

2. Saya pernah ikut training Pak Ihsan B.I. Bukhari

3. Mengingatkan diri sendiri dan mengajak orang lain agar mendapatkan pengetahuan yang baik tentang bagaimana menjadi orang tua yang shaleh

Written By:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School
Pembicara Parenting di 7 negara
(Jerman, Austria, Swiss, Jepang, Arab Saudi, Malaysia, Indonesia)
dan Pembicara Nasional Parenting di 24 Propinsi, lebih dari 80 Kota di Indonesia
www.auladi.net | inspirasipspa@yahoo.com


Mengapa ada yang begitu saja mudah nurut pada orangtua sementara yang lainnya tidak nurut? Mengapa ada anak yang orangtuanya berkata “tidak” sekali saja bahkan sambil senyum lalu anaknya tidak nangis, tidak teriak dan tidak guling-guling meski orangtuanya menolak untuk memberikan mainan atau es krim?

Mengapa ada anak yang bisa taat pada aturan yang telah dibuat tapi ada anak yang lain tidak menaatinya?

Ada banyak orangtua yang curhat pada saya bahwa mereka sudah memberi aturan tapi anak terus melanggar aturan tersebut.  Mari kita perhatikan salah satu contoh dari curhat salah seorang orangtua berikut:

“Abah mohon saran dan solusinya. Saya ibu dari 2 orang putri. Anak pertama mau 5 tahun dan anak kedua umur 1 tahun.  Saya mengalami sedikit masalah dengan si sulung. Dia tipe yang agak susah dibangunkan. Kalau waktunya ngaji, banyak alasan. Kebetula sekolahnya di tempat sendiri yang ngajar juga sendiri. Hambatan di sekolah kadang dia nggak nurut aturan.  Waktu teman-temannya sholat dia malah sibuk sendiri. Waktunya belajar dia kadang seenaknya sendiri. Istilah orang Jatim sih katanya “mbulet”.

Padahal kalau waktunya sekolah perhatian saya kan terbagi dengan teman-teman dia. Maunya dia diperhatikan saya terus. Kadang saya geregetan ngelihat tingkah polahnya sampai kemarin karena nggak tahan dengan sikap mbuletnya saya kelepasan mukul dia. Selanjutnya hati saya menangis bah, merasa diri saya belum menjadi orangtua yang baik. “

Maka, akan saya tanggapi lebih lengkap disini. Anak-anak yang tidak taat aturan disebabkan setidaknya beberapa faktor besar dan jika Anda menginginkan anak taat aturan, atasai penyebab-penyebabnya ini.

1.  Aturannya berlebihan, terlalu tinggi, tidak sesuai usia anak

Contoh, melatih anak batita untuk membereskan mainan setelah bermain adalah positif. Tetapi menetapkan aturan membereskan mainan sebagai kewajiban untuk anak batita adalah berlebihan. Sebab, mereka belum dapat memahami abstraksi dari tanggung jawab. sedangkan konsep berpikir mereka masih konkrit dan sederhana. Melatihnya boleh, tapi memaksanya untuk membereskan mainan sebagai sebuah aturan adalah berlebihan.

Atau contoh lain, meminta anak balita untuk sabar, padahal telah menunggu orangtua 2 jam ngobrol dengan temannya, tanpa balita ini melakukan kegiatan apapun juga berlebihan. Rentang pikiran dan waktu anak-anak balita sangat pendek. Maka adalah hal yang normal jika anak balita cepat bosan atau merasa pusing, capek, dan akhirnya rewel jika harus “nungguin” orangtuanya yang ngobrol dengan temannya selama 2 jam atau lebih tanpa melakukan kegiatan apapun.

Hal lainnya, kadang, sebagian orangtua makin sulit mengendalikan anak karena orangtua terus berfokus pada perilaku anak bukan pada kebutuhan anak. Saat anak rewel, sebagian orangtua terus-terus berusaha berkata “jangan rewel terus dong” dan bukan mencari sebab mengapa anak rewel?  Apa sih yang anak butuhkan sehingga dia jadi rewel?

2. Tidak Melibatkan Anak

Ini hukum universal dari pengambilan keputusan: seseorang akan lebih benergi jika dia melaksanakan keputusan yang dibuatnya sendiri. Seseorang akan sangat sulit memerangi keputusan yang dibuatnya sendiri.

Pun demikian anak-anak, pada saat anak sudah dapat diajak bicara, batasan-batsan, aturan-aturan, konsekuensi dan seterusnya yang terbaik adalah yang melibatkan anak dalam pengambilan keputusan tersebut. Anak akan lebih bertenaga melakukannya. Anak akan malu jika tidak melakukannya. Anak akan lebih terpacu melakukannya. Lihat surat As-Shoffat seperti yang jelaskan dalam Pelatihan Orangtua PSPA tentang karunia Shoffat.

Mengajak anak bicara tidak berarti kita menuruti semua yang anak inginkan. Mengajak anak bicara berarti membuka ruang ide dari anak yang rasional dan penerimaan lebih mudah untuk anak. “Menyimpan handuk itu pada tempatnya. Jika tidak pada tempatnya, handuk itu bisa cepat kotor, lembab dan akhirnya jamuran. Yang rugi kamu sendiri kan? Coba kasih tau Mama, apa yang ingin kamu lakukan agar kamu selalu ingat untuk menyimpan handuk pada tempatnya?”

Mengajak anak bicara berarti mencari solusi-solusi konkrit dan solutif untuk menyelesaikan masalah-masalah dari perilaku anak sebelum mengedepankan hukuman-hukuman.

Atau contoh lain “Kalau mama lagi di Supermarket, kadang Mama harus memilih belanjaan yang banyak jadi butuh waktu banyak. Kalau kamu ikut Mama ke supermarket, berarti kamu harus menunggu. Nah biar kamu tidak bosan saat menunggu, kasih tau mama, ada ide tidak biar kamu tidak bosan”.

3.  Tidak disertai konsekuensi

Setiap aturan agar ditaati membutuhkan konsekuensi. Aturan tanpa konsekuensi, bagaikan macam tanpa gigi. Aturannya sudah dibuat, tapi tanpa disertai konsekuensi, ya tidak punya kekuatan apapun. Misalnya, membatasi anak nonton tv 2 jam sehari. Lalu tidak ada konsekuensi apapun jika anak melebihi batas yang sudah ditentukan? Apa yang kira-kira terjadi. Anak-anak akan terus melanggarnya. Bahkan ada konsekuensi saja dilanggar, apalagi tanpa ada konsekuensi.

Jika tidak ada konsekuensi, saat anak melanggar batas nonton tv, apa yang akan orangtua lakukan? Ngomel lagi, lagi dan lagi. “Harus berapa kali mama bilang, nonton tv itu nggak boleh lama-lama!” atau “Kamu dengar nggak sih mama ngomong?” atau “kenapa sih kalian nggan patuh sama aturan yang mama buat?”

Berbeda jika ada konsekuensi, meski tidak otomatis membuat anak langsung taat (karena bergantung konsistensi kita orangtua), maka anak akan merasa kerugian jika mereka mencoba melanggarnya. Nonton tv boleh, batasannya 2 jam, itu aturan. Konsekuensinya misalnya, yang melanggar batasan, melebihi 1 menit saja dari waktu yang sudah ditentukan, maka hak nonton tvnya dicabut selama 2 hari. Ini memiliiki perbedaan dengan aturan yang tidak memiliki konsekuensi sama sekali.

Contoh lain, anak berleha-leha bangun, malas-malasan bangun. Sudahkah ditentukan aturan paling lambat jam berapa bangun? Lalu bagaimana pula cara membangunkan anak? Jika membangunkan anak dengan teriakan, kepusingan, ketergesa-gesaan, tekanan, itu hanya akan membuat anak tertekan dan akibatnya malah pusing dan tambah rewel. Tapi berbeda jika membangunkan anak dengan cara yang membuat dia exciting bangun: didengarkan musik, bunyi-bunyian yang menyenangkan, didengarkan suara-suara Qur’an, diajak bicara, ngobrol tentang kesukaannya, dst. Lalu dilengkapi dengan ketegasan, konsekuensi-konsekuensi jika bangun melebihi jam sekian. Dst..

4. Inkonsisten

Ketidakpercayaan akan menyulitkan seseorang untuk melaksanakan apa yang diminta. Orangtua yang berbohong pada anak, orangtua yang inkar janji pada anak adalah orangtua-orangtua yang tidak akan pernah mudah lagi dipercaya anak perkataannya.

Orangtua yang melegalkan bohong dan inkar janji pada anak adalah orangtua yang tidak konsisten antara perkataan dan perbuatannya.  Bagaimana mungkin akan mempercayai dan mematuhi orangtua sementara perkataan orangtua sendiri tidak bisa dipegang?

Kata siapa berbohong pada anak itu boleh dan legal (tidak dosa?). Ulama mana yang menyebutkan berbohong dan inkar janji pada anak itu adalah hal yang mubah atau diperbolehkah? Tak satu pun bukan?

Perilaku tidak konsisten orangtua dimulai dari hal sepele seperti saat anak ingin beli mainan waktu berkunjung ke supermarket, lalu orangtua menolaknya. Saat ditolak orangtua, apakah anak-anak akan langsung nurut begitu saja? Tidak dong! Ia akan mencoba “berikhtiar” untuk terus mewujudkan keinginannya. Ikhtiar anak yang paling minimum adalah memasang muka cemberut, merengek dan menangis.

Lalu apa yang orangtua lakukan saat anak cemberut, merengek dan menangis? Jika orangtua memberikan apa yang diminta anak padahal tadi menolaknya “ya sudah sekarang boleh, nanti lagi nggak boleh kayak gitu. Kalau nanti seperti itu lagi, mama tinggal lho!”

Apakah di masa yang akan datang perkataan orangtua seperti itu membuat anak tidak akan mengulanginya lagi? Dijamin 100% justru orangtua sendiri yang mengundang anak mengulanginya lagi, lagi dan lagi. Bahkan saat di waktu lain orangtua berusaha konsisten, justru anak menambah “kualitas ikhtiar” untuk mewujudkan keinginannya, tidak hanya menangis tapi juga: berteriak, melengking, selonjoran di lantai, guling-guling, melempar barang, memukul orangtua. Dan ketika orangtua tidak tahan akhirnya orangtua mengatasinya dengan dua cara shortcut: mencubit anak hingga berhenti atau memenuhi keinginan anak yang tadi ditolaknya (lagi).

Mencubit anak mungkin berbahaya, tapi tahukah parents, justru yang kedua: memenuhi keinginan anak yang tadinya kita tolak, justru jauh lebih berbahaya! Sejak saat itu, anak tidak mudah lagi bisa mempercayai apapun yang dikeluarkan oleh lisan orangtuanya. Akhirnya mengundang upaya orangtua lebih keras. Akhirnya orangtua pun dipancing untuk melakukan tindakan lebih keras: semakin sering membentak, semakin sering mengancam anak dan semakin sering menghukum anak.

Karena pengalaman anak yang seperti ini pula, tidak jarang saya menemukan kejadian, seorang guru di sekolah lebih sulit mengendalikan anaknya sendiri yang di sekolah tempat dia mengajar dibandingkan mengendalikan anak lain. Atau seorang ustadz/ustadzah yang mengajar ngaji, lebih mudah mengendalikan santrinya yang lain dibandingkan anaknya sendiri.

Atau kalau pun Anda bukan guru, sebagian anak yang orangtuanya bukan guru, justru lebih mempercayai gurunya sendiri dibandingkan orangtuanya. Pernahkah Anda mendengar orangtua yang menakuti-nakuti anaknya karena tidak nurut dengan perkataan semacam ini “Mama bilangin lho sama Bu Guru, kalau kamu nggak mau mandi?” Dan sekonyong-konyong ada anak yang langsung nurut begitu saja ketika orangtua ‘menjual’ gurunya agar anak nurut.

Mengapa ada anak yang lebih menuruti perkataan gurunya daripada orangtuanya? Ya penyebab terbesar adalah bahwa gurunya memang punya kredibilitas lebih dibandingkan orangtuanya. Bukan soal kredibilitas kompetensi ilmu, bukan, bukan itu. Tapi lebih kepada kredibilitas konsistensi antara perkataan dan perbuatan. Anak-anak yang lebih mudah nurut gurunya daripada orangtuanya pastila anak-anak yang memiliki pengalaman inkonsisten sebelumnya dengan orangtuanya.

Jika Anda seorang guru, maka jika sudah ‘terlanjur’ anak punya pengalaman inkonsisten dengan orangtuanya, usul Abah, adalah hal lebih baik jika kemudian anak kita ‘dimutasi’ di sekolah lain atau di tempat lain. Jika Anda orangtua yang mengalami kejadian anak yang lebih nurut gurunya, saatnya untuk introspeksi. Anda harus merasakakan “sakit hati” dalam artian positif. Dalam artian bagaimana caranya anak justru harus mulai lagi nurut dan percaya dengan orangtuanya dibandingkan dengan siapapun.

Mulai hari ini jangan pernah lagi berbohong pada anak. Jangan sembarangan mengumbar janji untuk sekadar meredakan kerewelan anak jika Anda tidak berniat benar-benar mewujudkan janji itu.

5. Ketidaktegasan

Aturan dan batasan sudah disepakati, konsekuensi sudah disiapkan dan orangtua pun tak pernah berbohong dan inkar janji. Apakah anak langsung nurut begitu saja saat orangtua berusaha menghentikkan perbuatan buruk anak melalui nasihat dan perkataan?

Modal besar agar anak-anak kita dapat taat aturan dan batasan-batasan terhadap nilai-nilai yang kita anut di keluar agalah: ketegasan! ? Tanpa ketegasan, aturan hanya semacam formalitas semata. Terlalu banyak Peraturan Daerah (perda) hanya sampai diputuskan, tapi berapa banyak yang dilaksanakan?

Sebagai contoh banyak kota besar di Indonesia punya perda larangan merokok di tempat umum. Jakarta, Bandung, dst. Silahkan Anda tunjukkan kepada saya, mana yang dilaksanakan? Ketika tidak disediakan perangkat untuk menegakkan perda itu, maka tidak akan pernah ketegasan. Ketika tidak ada ketegasan, maka jangan harap masyarakat mau melaksanakan.

Saya sering bertanya kepada peserta seminar dan pelatihan yang sering saya lakukan dan akan saya tanya juga kepada Anda: menurut Anda, sebagian besar orang disiplin atau tidak? Berlalu lintas, membuang sampah, atau perilaku-perilaku yang berhubungan kepentingan publik lainnya sejenis ini?

Terserah Anda, tidak tahu bagaimana pendapat Anda. Yang jelas, ketika saya tanyakan ini kepada ribuan orang. Jawaban hampir 100% dari mereka adalah: sebagian besar orang Indonesia tidak disiplin!

Saya tidak setuju dengan pendapat ini. Menurut saya, Anda boleh tidak setuju tentu, sebagian besar orang Indonesia sangat disiplin. Tapi, ada tapinya, ketika berada di Jepang, ketika orang Indonesia berada di Singapura. Hehehe.

Ih maafkan saya jika dianggap tidak serius. Tapi sungguh saya serius. Mengapa ini terjadi? Mengapa orang Indonesia jika di luar negeri justru jadi bisa disiplin? Di sana ada aturan? Di Indonesia memang tidak ada? Di luar negeri ada konsekuensi? Memangnya setiap undang-undang dan perda yang dibuat di Indonesia tidak disediakan konsekuensinya? Ada lho! Budaya dan lingkungan orang luar negeri sudah bagus? Lho yang membentuk budaya dan situasi lingkungan itu siapa sih? Jadi kita menunggu kita sendiri dibentuk budaya dan lingkungan yang lagi tren?

Ya sudahlah, saya tak mau bicara soal yang muluk-muluk ngurus negara. Saya hanya mau memberi contoh saja untuk kita gunakan untuk menguru keluarga. Tanpa ketegasan orangtua tidak mungkin dipatuhi anak. Tapi ketegasan tidaklah sama dengan kekerasan, ketegasan tidaklah sama dengan banyak ngomong.

Penyakit orangtua saat anak berbuat buruk adalah banyak ngomong, banyak bicara dan akhirnya jadi banyak emosi. Pertanyaan seberapa efektif omongan dan nasihat akan didengarkan anak untuk menghentikkan perbuatan buruk mereka?

Justru yang terjadi adalah, jika kita hanya ngomong doang, energi kita akan terkuras dan kita jadi stress sendiri karena memang kenyataannya hanya kurang dari 10% anak2 saat berbuat buruk lalu dihentikan dengan omongan akan berhenti. Akibatnya, banyak orangtua terus-terusan ngomelin anak "harus berapa kali sih mama bilang?! kamu denger gak sih? Nyimpen sepatu itu pada tempatnya!"

Dan mungkin, karena banyak ngomong, kita akan menyesal dengan omongan-omongan kita. Sebab saat tengah emosi, omongan kita akan kemana-mana.

Jadi apa yang harus dilakukan? Banyak bertindak, dan bukan banyak ngomong! Saat anak berbuat buruk rumusnya adalah banyak bertindak dan bukan banyak bicara. Sebaliknya, saat anak beruat baik, banyak bicara adalah positif.

Tindakan seperti apa? Berikan aturan yang jelas dan berikan konsekuensi yang jelas lalu tegakkan! Tegakkan aturan berarti, Anda tega, tegas, istiqomah dan konsisten dan tidak terpengaruh dengan tangisan, kerewelan, rajukan, intimidasi anak saat anak mencoba menegakkan aturan itu.

Ketika kita menegakkan aturan,  tidak ada istilah “cinta damai”, jika melanggar bisa damai! Dengan sogokan dan lain-lain. Pun demikian juga pada anak "kamu setuju tidak hukuman yang mama berikan?" Meski anak menolak, jika sudah di awal dikomunikasikan, disosialisasikan, maka tegakkan! Karena itu ketegasan berarti penerapan konsekuensi tidaklah bergantung pada penolakan atau persetujuan anak.

Mana ada anak yang mau dihukum? jangankan anak, tidak ada satu pun manusia dewasa yang mau dihukum. Ketika polisi menilang orang yang melanggar lalu lintas tidak mungkin polisi memberi penawarn semacam ini "Anda ikhlas saya tilang?" atau ketika penjahat dipenjara pengadilan gak mungkin meminta persetujuan penjahat untuk memenjarakan dia. Atau Tuhan kita saat di pengadilan akhirat kelak, akankah berkata pada kita “bagaimana manusia, apakah kalian bersedia dimasukkan ke neraka?”

Karena itu, saat anak menolak diberikan hukuman tentu saja adalah hal yang normal. Tak ada satu pun anak yang mau menerima denga ikhlas dihukum sebagaimana kita tak ada satu pun yang mau ikhlas membayar denda tilang, dst. Tapi itulah fungsi kita orangtua untuk menegakkan rule of the games di keluarga. Fungsi rule kadang memang harus memaksa meski tidak semuanya dengan cara memaksa. Karena itu, ketika anak menolak, penerapan konsekuensi sama sekali tidak bergantung dari disetujui atau ditolak anak. Ketika kita menerapkan “no go outside” karena anak melanggar sebuah kesepakatan, ya kunci pintu rumahnya, meski anak menangis, menolak, ya biarkan.

Ketika kita menerapkan no watching tv, ya matikan tv, sita kabelnya meskipun anak sampe meraung, bahkan menghancurkan tv tetap tidak ada tv. Cuma klo sudah merugikan penolakannya, seperti sampai merusak tv, anak harus diberikan konsekuensi tambahan lebih berat.

Tapi ini hanya bagian kecil untuk menghentikkan perbuatan buruk anak. Bagian besar bukanlah pada soal reward and punishment. Jika hanya mengelola reward punishment, percayalah hubungan orangtua dan anak akan garing! Bagian besar lain: bonding orangtua dengan anak, kerelaan waktu orangtua untuk menginstallkan fikroh anak dengan nilai-nilai baik, adalah hal-hal lebih besar lain yang dilakukan untuk anak agar mau berbuat baik dan semakin terhindar dari berbuat buruk. Tapi ini bukan bagian dari tulisan ini. Silahkan Anda baca artikel-artikel lain yang saya buat atau di buku-buku saya. Insya Allah bagian lain ini juga sering dibahas.


Diperbolehkan menyebarkan kembali tulisan ini dengan tetap mencantumkan nama penulis dan situs auladi www.auladi.org sesuai format asli.

Article :

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes