Kita, manusia, adalah makhluq Allah yang unik dan
istimewa. Kita tercipta dari dua unsur yang sungguh berbeda satu sama
lain: tanah yang berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari langit.
Terciptanya kita dari tanah menjadikan kita sebagai makhluq yang
membutuhkan hal-hal yang bersifat ‘bumi’ seperti makan, minum, dan
kebutuhan biologis. Sedangkan unsur ruh yang ada dalam diri kita
menjadikan kita sebagai makhluq yang membutuhkan hal-hal yang bersifat
‘langit’ seperti iman, ilmu, dan semacamnya.
Allah telah
mengilhamkan dalam diri kita dua potensi: potensi baik (at-taqwa) dan
potensi buruk (al-fujur). Kemudian Allah memberikan kepada kita
kebebasan untuk memilih: beriman atau kufur, menjadi baik atau menjadi
buruk. Setelah memilih, kita tentu saja harus menanggung segala
konsekuensinya. Dan konsekuensi tersebut tidak lain adalah balasan baik
berupa surga dan balasan buruk berupa neraka. Apapun yang akan kita
dapatkan, baik surga ataupun neraka, merupakan hasil dari pilihan kita
sendiri. Karena itu jika ada seorang manusia yang nantinya masuk kedalam
neraka, itu tidak lain adalah karena kezhalimannya kepada dirinya
sendiri. Allah sedikit pun tidak berbuat zhalim kepada hamba-hamba-Nya.
Allah telah memberitahukan kepada kita melalui
wahyu-Nya bahwa kita diciptakan untuk beribadah dan menyembah kepada-Nya
semata, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Seluruh kehidupan
kita harus bernilai ibadah. Kita tidak hanya beribadah kepada Allah
ketika kita sedang melakukan sholat dan berbagai ritual yang lainnya.
Kita harus beribadah kepada Allah dalam semua sisi kehidupan. Caranya
adalah dengan senantiasa menjadikan gerak hidup kita diridhai oleh
Allah, yakni dengan mematuhi syariat-Nya yang telah Ia jelaskan dalam
wahyu-Nya yang suci dan mulia.
Manusia telah menerima tawaran
amanah dari Allah untuk memakmurkan alam semesta. Untuk itu, Allah telah
menganugerahkan berbagai macam potensi kepada manusia untuk bisa
memikul amanah yang amat berat tersebut. Allah telah menciptakan manusia
dalam sebaik-baik bentuk (fii ahsani taqwiim). Manusia tidak hanya
dianugerahi jasad yang menawan, namun juga dianugerahi hati dan akal
pikiran untuk bisa mencerap ilmu pengetahuan dan membedakan antara yang
baik dan yang buruk. Disamping itu, Allah juga telah menundukkan alam
semesta untuk manusia. Karenanya, kita bisa memanfaatkan segala hal yang
ada di alam ini, baik itu benda mati, tumbuh-tumbuhan, binatang dan
sebagainya.
Sebenarnya kita adalah makhluk yang lemah. Fisik kita
tidaklah sekuat singa atau gajah. Namun dengan akal yang Allah berikan,
kita bisa mencari cara untuk melindungi diri dari binatang-binatang buas
semacam itu. Bahkan, kita pun bisa membinasakan hewan-hewan tersebut
jika kita mau. Kita tidak diciptakan untuk bisa hidup dalam air. Namun
dengan akal yang Allah berikan, kita bisa menciptakan kapal laut dan
kapal selam untuk mengarungi perairan yang luas dan dalam. Kita tidak
dikaruniai sayap untuk bisa terbang sebagaimana burung. Namun dengan
akal yang Allah berikan, kita bisa menciptakan berbagai macam peralatan
yang memungkinkan kita untuk terbang di angkasa, bahkan ke luar angkasa.
Allah benar-benar telah memberikan anugerah yang besar kepada kita,
manusia. Subhanallah, maha suci Allah!
Oleh karena itu, kita wajib
mensyukuri segala yang telah Allah anugerahkan kepada diri kita, berupa
jasad, hati dan akal kita. Salah satu caranya adalah dengan senantiasa
menjaga ketiga hal tersebut, secara seimbang. Jasad kita harus kita
rawat dengan cara memberikan kebutuhan-kebutuhannya seperti makanan,
minuman, kebutuhan biologis dan olahraga. Hati kita juga harus
senantiasa kita jaga dengan cara membersihkannya dari penyakit-penyakit
hati lalu menghiasinya dengan sifat-sifat yang terpuji. Demikian pula
akal kita juga harus kita pelihara dengan cara mengasah kecerdasannya
dan menghiasinya dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Demikianlah Allah
memerintahkan kepada kita untuk menjaga ketiga elemen diri kita tersebut
secara seimbang, tanpa menelantarkan salah satu atau sebagiannya.
Yang
seringkali dilakukan oleh manusia adalah hanya memperhatikan jasadnya,
dan teledor dalam memperhatikan jiwanya. Padahal jiwa itulah yang
membuat manusia menjadi unik dan istimewa. Dan jiwa itulah yang dilihat
oleh Allah, bukan jasad. Banyak manusia tidak merasa ketika jiwanya
telah sedemikian kotor. Ini tentu saja amat menyedihkan. Kita harus tahu
bahwa jiwa kita sesungguhnya telah menyimpan berbagai sifat dasar yang
kurang terpuji. Jika kita tidak berusaha untuk mengendalikan dan
mengekang sifat-sifat tersebut, niscaya sifat-sifat itu akan terus
tumbuh dan berkembang mengotori jiwa kita. Diantara sifat-sifat dasar
itu adalah tergesa-gesa, suka berkeluh-kesah, suka lalai, suka
melampauai batas, pelit, suka ingkar, suka membantah, zhalim, dan jahil.
Tugas kita adalah mengubah sifat-sifat itu menjadi sifat-sifat yang
terpuji. Hal ini tentu saja membutuhkan kesungguh-sungguhan (mujahadah).
Seberapa
jauh kita bermujahadah dalam mengekang jiwa kita, akan menentukan
kualitas jiwa kita. Jiwa yang tidak mengekang syahwatnya akan senantiasa
terobsesi untuk melakukan berbagai macam keburukan (an-nafs al-ammarah
bis-suu’). Dan jika jiwa tersebut terus mengumbar syahwatnya maka ia
akan menjadi budak syahwat. Kualitas jiwa yang lebih tinggi dari ini
adalah jiwa yang labil dan senantiasa bergejolak, antara kebaikan dan
keburukan. Apabila ada keinginan amal shalih ia berpikir-pikir dulu. Pun
bila terbersit kecenderungan maksiat ia juga pikir-pikir dulu. Lalu
ketika ia terjatuh dalam sebuah kemaksiatan, ia pun akan menyesal dan
mencaci maki dirinya atas kesalahannya tersebut. Dan untuk itulah ia
disebut sebagai an-nafs al-lawwamah. Adapun kualitas jiwa yang tertinggi
adalah ketika ia benar-benar tenang dalam kebaikan dan taqwa. Ia tidak
tergoda oleh berbagai rayuan kemaksiatan. Inilah jiwa yang tenang dan
tenteram (an-nafs al-muthmainnah).
Dengan ketinggian kualitas
jiwanya, manusia akan mendapatkan kedudukan yang tinggi disisi Allah.
Pada level tertentu, ia bahkan dikatakan lebih tinggi kedudukannya
daripada malaikat, karena taatnya malaikat bersifat taken for granted
(tanpa pilihan) sementara taatnya manusia bersifat mukhayyar (atas
pilihannya sendiri). Namun ketika seorang manusia memiliki kualitas jiwa
yang rendah, hanya diperbudak oleh syahwatnya semata, ia pun tidak lagi
berbeda dengan binatang, bahkan lebih rendah. Yang demikian itu karena
ia hidup tanpa aturan seperti binatang padahal ia dikaruniai hati dan
akal pikiran. Adapun hewan memang pantas hidup liar dan tanpa aturan
karena memang tidak dikaruniai hati dan akal pikiran.
Pada
akhirnya, diri kita sendirilah yang akan menentukan kita akan menjadi
apa dan siapa, karena kita adalah makhluq yang mukhayyar, bebas untuk
menentukan pilihan. Tetapi ingat, setiap pilihan pasti ada
konsekuensinya!
Sumber : http://menaraislam.com/content/view/145/27/
0 comments:
Posting Komentar